Langsung ke konten utama

Perbandingan sistem SKS di Indonesia (ITB) dan ECTS di Belanda (TU Delft), dan alasan mengapa banyak yang merasa kuliah di Belanda lebih berat daripada di Indonesia.

"Lebih berat kuliah di Indonesia atau kuliah di Belanda?"

Banyak pertanyaan semacam itu dikemukakan oleh orang-orang yang penasaran bagaimana rasanya menempuh studi Magister di negeri kincir angin ini. Bagi sebagian besar orang yang sedang sama-sama menempuh kuliah di sini (secara spesifik di TU Delft) dan sebelumnya menempuh pendidikan S1 di Indonesia, beban kuliah di sini rasanya lebih banyak daripada beban kuliah di Indonesia. Saya pun kurang lebih merasakan hal tersebut. Namun, opini-opini tersebut masih berupa sekumpulan argumen yang bersifat kualitatif. Apakah ada penjelasan kuantitatif yang mendukung pendapat beban studi di Belanda lebih besar daripada beban studi di Indonesia? Saya akan mencoba membahasnya di sini.

Perguruan tinggi di Indonesia mengenal sistem Satuan Kredit Semester (SKS) untuk mengukur beban studi mahasiswa dalam menempuh kuliah. Saya kurang tahu apakah sistem SKS berlaku sama atau berbeda-beda antar perguruan tinggi di Indonesia. Oleh karena itu, untuk memudahkan pembahasan, saya hanya akan membahas mengenai sistem SKS di kampus saya waktu pendidikan S1, Institut Teknologi Bandung (ITB). Agar dapat dibandingkan dengan pengalaman saya saat ini kuliah Magister di Belanda, saya di sini juga hanya membahas sistem SKS yang berlaku di program magister, bukan program sarjana. Hal ini perlu dikemukakan di awal karena ternyata definisi SKS di program sarjana dan program magister itu berbeda! Di program magister (dan program pascasarjana lain) di ITB, 1 SKS setara dengan 5 jam kegiatan - entah itu tatap muka, praktikum, atau belajar mandiri - per minggu selama 1 semester [1]. Bandingkan dengan 1 SKS di program sarjana yang hanya setara 3 jam kegiatan per minggu dalam 1 semester. Apabila merujuk pada kalender akademik [2], masa efektif kuliah di ITB dalam 1 semester, di luar masa ujian tengah dan ujian akhir, adalah 14 minggu.

Perguruan tinggi di Belanda juga memiliki sistem pengukuran beban studi mahasiswa, namun bukan sistem SKS yang digunakan di Indonesia, melainkan sistem "European Credit Transfer System" (ECTS). Sistem ECTS digunakan di semua universitas di negara-negara anggota European Union (EU), namun saya juga kurang tahu apakah implementasi sistem ECTS ini sama atau berbeda di tiap universitas. Jadi, untuk konteks ini saya akan mengambil contoh sistem ECTS di kampus saya saat ini, TU Delft. 1 kredit ECTS di TU Delft setara dengan 28 jam beban belajar [3] yang diterapkan selama 1 kuarter. Berbeda dengan sistem semester yang dipakai di banyak negara, Belanda menganut sistem kuarter di mana 1 semester setara dengan 2 kuarter. 1 kuarter di TU Delft kurang-lebih setara dengan 10 minggu, apabila merujuk pada kalender akademik [4]. Akan tetapi, berdasarkan pengalaman, 2 minggu terakhir umumnya hanya berisi jadwal-jadwal ujian sehingga diasumsikan masa efektif kuliah sebenarnya dalam 1 kuarter adalah 8 minggu.

Sekarang kita masuk ke hitung-hitungan!

Pertama-tama, saya akan membandingkan beban kuliah mahasiswa per minggu apabila merujuk pada definisi kedua sistem. Untuk sistem SKS, sudah jelas tertulis bahwa untuk program magister, 1 SKS sama dengan 5 jam kegiatan akademik per minggu. Sistem ECTS tidak menjelaskan secara eksplisit berapa jam kegiatan akademik per minggunya. Namun, pendekatan bisa dilakukan dengan membagi beban belajar untuk 1 kredit ECTS, yaitu 28 jam per kuarter, dengan masa efektif kuliah per kuarter yaitu 8 minggu. Dari perhitungan tersebut didapatkan rata-rata beban studi per minggu yaitu 3.5 jam per minggu. Dari perhitungan ini, kita dapat melihat bahwa beban studi per minggu di Indonesia lebih besar daripada beban studi di Belanda.

Tapi, apakah pendekatan di atas tersebut cukup?

Pendekatan di atas sayangnya belum mempertimbangkan berapa banyak jumlah kredit yang secara umum harus diambil dalam satu masa studi tertentu. Untuk mempertimbangkan hal ini, saya akan mengambil fokus berapa kredit yang biasanya harus ditempuh dalam 1 semester atau 2 kuarter. Di TU Delft, satu tahun akademik terdiri dari 60 kredit ECTS [4], atau secara kasar dapat dikatakan satu semester terdiri dari 30 kredit ECTS yang harus ditempuh oleh mahasiswa. Sementara itu, menurut referensi [1], pendidikan Magister memiliki beban 36 SKS yang ditempuh selama 3 hingga 4 semester, yang berarti mahasiswa mengambil sekitar 9-12 SKS per semester. Untuk perhitungan ini, saya mengambil asumsi bahwa mahasiswa menempuh 12 SKS per semester.

Dengan demikian, beban studi (dalam jam) untuk pendidikan Magister di ITB untuk 1 semester, di luar jadwal ujian, dapat dihitung sebagai berikut:
Beban studi = Jumlah SKS yang ditempuh * Beban studi per minggu per SKS * Jumlah minggu efektif kuliah per semester
Beban studi = 12 SKS * 5 jam/(minggu*SKS) * 14 minggu/semester
Beban studi = 840 jam/semester

Sementara itu, beban studi (dalam jam) untuk pendidikan Magister di TU Delft untuk 1 semester, di luar jadwal ujian, adalah sebagai berikut:
Beban studi = Jumlah kredit ECTS yang ditempuh dalam 1 semester * Beban studi per kredit ECTS
Beban studi = 30 ECTS/semester * 28 jam/ECTS
Beban studi = 840 jam/semester

Ternyata, beban studi normal dalam satu semester untuk program magister di kedua kampus tersebut sama!

Well, sebenarnya tidak se-sama itu, karena di ITB mahasiswa hanya perlu menempuh 36 SKS supaya dapat meraih gelar Magister. Asumsi 12 SKS per semester berlaku apabila program S2 tersebut ditempuh hanya dalam 3 semester atau 1.5 tahun. Sementara itu, program Magister di TU Delft berlangsung selama 2 tahun. Apabila beban SKS yang sama ditempuh selama 2 tahun, maka rata-rata SKS yang diambil per semester akan turun menjadi hanya 9 SKS, yang artinya beban studi per semester pun akan turun menjadi hanya 630 jam per semester, atau hanya 75% dari beban studi normal di TU Delft. Untuk mendapatkan gelar Magister di TU Delft, mahasiswa perlu menyelesaikan 120 kredit ECTS, atau kira-kira setara dengan 48 SKS apabila perhitungan beban studi di atas dilakukan kembali.

Sesungguhnya dari perhitungan di atas saya dapat memperkirakan bahwa untuk program Magister, 1 SKS di ITB sama dengan 2.5 kredit ECTS di TU Delft.

Bagaimana dengan program Sarjana / Bachelor?

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk membandingkan beban studi program Sarjana di ITB dan TU Delft. Pertama, definisi SKS untuk program Sarjana di ITB adalah 3 jam kegiatan per minggu dalam 1 semester, sementara definisi kredit ECTS di TU Delft tetap sama. Kedua, untuk mendapatkan gelar Sarjana, mahasiswa ITB perlu menempuh 144 SKS dalam 4 tahun (8 semester) sementara mahasiswa TU Delft perlu menempuh 180 kredit ECTS dalam 3 tahun (6 semester / 12 kuarter). Itu berarti rata-rata mahasiswa S1 ITB menempuh 18 SKS per semester sementara mahasiswa S1 TU Delft menempuh, sama seperti program magister, 30 ECTS per semester.

Dengan demikian, beban studi (dalam jam) untuk pendidikan Sarjana di ITB untuk 1 semester, di luar jadwal ujian, dapat dihitung sebagai berikut:
Beban studi = Jumlah SKS yang ditempuh * Beban studi per minggu per SKS * Jumlah minggu efektif kuliah per semester
Beban studi = 18 SKS * 3 jam/(minggu*SKS) * 14 minggu/semester
Beban studi = 756 jam/semester

Sementara itu, beban studi untuk pendidikan Sarjana di TU Delft per semester sama dengan program Magisternya yaitu 840 jam per semester. Dengan demikian, dalam 1 semester beban studi di ITB setara dengan 90% beban studi di TU Delft. Mungkin hal ini yang menyebabkan mengapa banyak orang yang dulunya kuliah S1 di Indonesia, khususnya ITB, merasa kuliah S2 di Belanda, khususnya TU Delft, lebih berat.

Sebenarnya, apabila ditelusuri lebih lanjut, sebenarnya beban studi untuk program Sarjana TU Delft, 180 kredit ECTS, setara dengan 120 SKS di ITB, yaitu sama-sama memiliki beban studi total sebesar 5040 jam. Hanya saja, beban studi total tersebut ditempuh dalam waktu 3 tahun. Ini kira-kira setara dengan apabila mahasiswa Sarjana ITB mengambil 20 SKS tiap semesternya. Saya tidak memiliki alasan pasti mengapa program Sarjana di TU Delft hanya setara dengan 120 SKS di ITB dan karenanya kredit tersebut dapat ditempuh hanya dalam waktu 3 tahun. Menurut saya, mungkin hal ini bisa terjadi karena pelajaran-pelajaran dasar (atau yang saya suka sebut pelajaran "SMA kelas 13") yang umumnya dipelajari oleh mahasiswa tingkat 1 di ITB telah dipelajari oleh siswa-siswi Belanda di VWO mereka (setara SMA) dan tidak lagi diulang di universitas.

Merujuk pada perhitungan-perhitungan di atas, saya memperkirakan bahwa untuk program Sarjana, 1 SKS di ITB sama dengan 1.5 kredit ECTS di TU Delft.


Akhir kata, apabila melihat dari perhitungan beban studi yang seharusnya dikenakan, mahasiswa Magister di Indonesia (ITB) dan Belanda (TU Delft) sesungguhnya memiliki beban studi yang boleh dikatakan setara setiap semesternya. Perasaan bahwa beban studi di Belanda lebih besar daripada di Indonesia mungkin muncul karena perbedaan beban studi antara kuliah S1 di Indonesia dan kuliah S2 di Belanda. Faktor-faktor lain yang tidak dibahas di tulisan ini, seperti perbedaan metode atau kualitas pengajaran yang turut menjelaskan kualitas akademik dari sebuah kredit, bisa jadi juga memiliki pengaruh terhadap persepsi akan perbedaan beban studi. Perbedaan definisi SKS dan ECTS antar universitas juga mungkin berpengaruh. Namun, apabila diasumsikan bahwa definisi SKS di universitas lain di Indonesia sama dengan ITB, definisi ECTS di universitas lain di Belanda sama dengan TU Delft, dan kualitas kredit antara sistem SKS dan ECTS itu setara, beban studi di Indonesia kurang lebih sama dengan yang di Belanda pada program Magister dan sedikit lebih ringan pada program Sarjana.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Klasifikasi Mall

Orang Indonesia khususnya orang Jakarta pasti sudah tidak asing dengan mall . Jenis pusat perbelanjaan ini sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Jakarta saat ini. Dari tujuan awalnya   yaitu sebagai tempat untuk melakukan transaksi/perdagangan, mall  saat ini telah berkembang sebagai tempat yang tidak hanya memfasilitasi kegiatan perdagangan, tetapi juga sebagai tempat nongkrong , ruang publik  untuk menyuarakan aspirasi, hingga sebagai gaya hidup masyarakat. Terinspirasi dari sebuah pembicaraan, saya ingin membuat klasifikasi mall-mall yang ada di Indonesia. Ternyata tidak semua mall di Indonesia itu sama loh! Mall  di Indonesia ada bermacam-macam jenisnya bergantung pada strategi pendiri mall tersebut, yang disesuaikan pula dengan tujuan dibangunnya mall, demografi dari konsumen , dan hal-hal penting lainnya. Berikut klasifikasi-klasifikasi mall  berdasarkan hasil pemikiran pribadi (sengaja contoh tidak diberikan untuk menghindari hal-hal yang tidak me

Berapa kapasitas PIN BlackBerry Messenger (BBM)?

Hai folks! Setelah mengumpulkan niat akhirnya saya balik menulis blog ini lagi. Kali ini dengan topik yang sedang muncul di kepala dan mungkin agak "tidak penting": Berapa kapasitas PIN BBM? Orang Indonesia sekarang pasti sudah sangat familiar dengan yang namanya BBM. Messenger yang selalu terinstall di dalam perangkat mobile Blackberry (BB) tersebut sudah sangat menyentuh kehidupan orang Indonesia khusunya kawula muda dan para profesional. Setiap saat kerjaannya bertukar pesan BBM terus, atau minta PIN BBM orang supaya bisa connect dengan orang tersebut. Nah PIN ini yang akan kita bahas di post ini. FYI, PIN di BBM berlaku sebagai identitas BBM seseorang, bahkan boleh dibilang identitas BB itu sendiri karena 1 BB cuma bisa punya 1 PIN BBM saja. Pertama, kita akan melihat struktur dari PIN BBM. Misalnya kamu tanya kepada teman kamu yang punya BB, "Eh, PIN BBM-mu berapa?". Pasti (kalau dia mau kasih tahu) dia akan memberikan sebuah #kode angka dan huruf b