Langsung ke konten utama

Hal tentang Peringkat, Kebanggan, dan Pilihan

Sejujurnya gw itu orang yang ga suka sama eksklusivisme, fanatisme, ekstremisme, dsb. Gw ga demen sama membangga2kan sesuatu (kalau rasa bangga mungkin sedikit ada, lumrah lah, tapi ga sampai berlebih dan sampai membangga2kan hal itu), apalagi sampai membanding2kannya dengan yang lain. Ok, gw juga memang ga suka dengan membanding2kan. Dalam prinsip gw, sesuatu itu sama baiknya sama jeleknya, netral, abu-abu.

Sayangnya, hal itu berlawanan dengan lingkungan di sekitar gw. Anggap saja gw itu minoritas, maka dominan orang-orang berlaku seperti yang gw bilang di atas. Perlu gw akui memang, di dunia yang fana ini ada 2 hal yang mengikat setiap langkah kita: uang dan peringkat.



Siapa sih di dunia ini yang tidak butuh uang? Walau banyak orang yang mengatakan uang itu bukan segalanya (dan gw merasa setengah dari orang tersebut hanya ikut2an dan tidak jujur mengatakannya), tapi semua orang butuh duid. Terima kasih untuk leluhur yang membuat konsep uang sehingga orang2 sekarang ini harus terikat dengannya.

Dan peringkat, selalu menjadi incaran orang2 di dunia ini. Lihat saja orang2 yang pasti menjunjung para eksekutif, CEO, direktur, pejabat dengan peringkat2 tinggi, dibandingkan dengan orang di pihak depan, pedagang, satpam, penyapu jalan, dsb. Padahal kalau dipikir2 justru orang2 yang di pihak depan ini yang menciptakan kehidupan; mereka yang bekerja gigih untuk sesuatu yang nyata, tidak seperti kebanyakan pejabat negara yang kerjanya memperdebatkan hal yang ga perlu dan/atau ga penting, alih2 tidur.

Ekskulisivisme terasa sekali di lingkungan gw sekarang. Doktrinasi yang dilontarkan oleh petinggi tempat gw beraktivitas sekarang benar2 mempengaruhi hampir semua orang yang mendengarkannya. Kenapa tidak, doktrinasinya didukung dengan data2 yang ia dapat sehingga menarik simpati orang (read: teman2) yang memang kebanyakan berpikiran matematis. Alhasil, dapat ditebak, euforia berlebihan, rasa bangga yang terlalu, dan agak banyak diantaranya ekstremis yang sogi (sombong gila). Mereka juga meyakinkan doktrinasinya dengan data2 yang sama: input yang paling baik, yang lain payah (kalau istilah gamers 'cupu'), banyak yang menjadi atasan (lagi2 peringkat yang dilihat), pasti menjadi orang yang sukses (dalam pengertian uang, lagi2 uang). Terlalu banyak hal2 duniawi yang dijanjikan, dan memang ranking itu hal yang sangat duniawi.

Kejelekan tes IQ yang ada sekarang adalah ia hanya mampu melihat bakat logical/mathematical, dengan sedikit visual/spatial dan linguistik, yang dapat dikelompokkan pada kecerdasan akademis. Dan saking hebatnya pengaruh tes IQ ini, orang2 banyak mendewakannya. Semua iklan suplemen untuk anak2 selalu memasukkan istilah IQ ke dalam iklannya. Orang dengan IQ tinggi akan dipuja2 sementara IQ rendah dibuang bila tidak ada orang yang mengasihinya. Inilah kejamnya dunia sekarang ini. Padahal, Tuhan telah mengatakan bahwa setiap orang itu spesial dengan bakat yang spesial juga untuk setiap orang. Kenyataannya mereka lebih menghargai bakat-bakat akademis dibandingkan yang lain. Setidaknya itu yang terjadi di sini.

Dengan doktrinasinya yang hebat, teman2 merasa mereka adalah sebuah input yang terbaik. Slogan "Putra-putri terbaik bangsa" sudah cukup membuat mereka di atas angin. Setidaknya gw menanyakan sesuatu yang berhubungan dengan doktrinasi seperti ini ke sahabat2 gw dan gw menyimpulkan, di tempat mereka juga ada doktrin seperti itu (dan sahabat gw yang satu itu juga tidak menyukainya, sama seperti gw), tapi di tempat gw yang paling keras dan paling ekstrem. Untungnya teman sebelah kamar gw seperti gw, mengerutkan dahi. "SoGi banget sih dia...!". Tapi bagaimana lagi, hal itu sudah mendarah daging di tempat itu sejak lebih dari 30 tahun lalu.

Pada suatu hari 2 teman gw berdiskusi tentang niat gw (dirahasiakan). Lalu dia menyambung dengan perkataan seperti ini, "Kalau untuk bidang sosial memang bagus, tapi untuk bidang teknik, ** mah payah!". "Inputnya jelek, bahkan temen gw yang disana sendiri yang bilang!". "Berapa teman yang lw tanya yang bilang seperti itu?" gw tanya. "2 orang! Tapi memang FAKTANYA jelek, di sini tu bagus kemana2, Perusahaan (INDF) aja bilang lulusan lainnya tu kurang berkualitas lah... dst dst!" Ia membalas, bersahut2an dengan yang satu lagi seperti bisnis MLM yang berusaha menarik simpati orang untuk membeli produk dengan cara menjelek2an produk yang dipaparkan oleh sang prospek.

Sedikit gw berdebat hingga akhirnya gw malas dan mengiyakan saja perkataannya. Ok, hal itu adalah kebanggaan mereka sebagai "Orang terpilih". Walau, entah kenapa gw mau bilang, "Lw belum pernah menilai dengan mengalami sendiri kan? Kalau begitu gw bisa dong bilang kalau di sini 'Sama Payahnya' dengan di sana?" Setidaknya gw menambah 1 suara oposisi untuk mengadilkan suasana. Lagi2 gw memang ga suka dengan ekstremisme. Ya, mungkin memang banyak data2 yang berkata demikian hingga data2 itu yang diambil oleh teman gw sebagai landasan pemikirannya. Tapi so what dengan menjelekkan sesuatu dengan fakta tsb? Tidak bisa kan memutlakkan keputusan sesuatu itu bagus atau jelek hanya dengan data2; ok itu ciri2 orang yg scientific. *Sori*, hanya saja gw merasa mereka tidak bisa melihat dari sudut pandang yang berbeda hingga mengambil kesimpulan yang tidak netral.

Itulah sang mayoritas, ranking adalah acuan dewa, benar dan salah adalah hal yang dimutlakkan, scientific, berdasarkan fakta2 dan data2, walau Einstein meluncurkan rumusan relativitas sekalipun. Tapi setidaknya gw bisa tahu jalan pikiran mereka seperti apa. Jalan pikiran seperti itu memang banyak terbukti menghasilkan orang2 yang sekarang ini terpandang, banyak uang, mendapat penghargaan tertinggi. Sementara orang yang bijak pasti akan selalu berada di balik layar. Confusius tidak pernah menjadi raja kan? Ia hanya berada di sisi lain dan mengambil keputusan bijak bila memang diperlukan. Confusius adalah salah satu orang terbijak yang saya tahu, dapat mengambil keputusan tidak berdasarkan sesuatu yang mutlak benar dan salah, tapi melihat dari seluruh sudut pandang permasalahan sehingga keputusannya adalah keputusan yang netral dan fleksibel.

Kesimpulannya, tidak ada solusi yang bisa gw berikan. Kembali lagi kepada diri anda, apakah anda orang yang ditakdirkan "sukses" secara duniawi dan memandang sesuatu dengan peringkat baik tidak baik, atau orang yang melihat sesuatu itu netral. Berorientasi proses atau tujuan? Pengejar prestasi dan martabat, atau penikmat dan pencari makna hidup? Eksklusif atau sekuler? Semua pilihan itu sama baiknya sama jeleknya, kembali ke diri anda masing2.

n.b: Maaf, gw salah ngomong kmaren, perusahaan INDF itu bukan bikinan orang sini yaa, tapi bikinan orang yang sama dgn yg bikin BBCA... so, jangan sampai perkataan gw kemaren yang salah bikin anda di atas angin...!!!!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Klasifikasi Mall

Orang Indonesia khususnya orang Jakarta pasti sudah tidak asing dengan mall . Jenis pusat perbelanjaan ini sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Jakarta saat ini. Dari tujuan awalnya   yaitu sebagai tempat untuk melakukan transaksi/perdagangan, mall  saat ini telah berkembang sebagai tempat yang tidak hanya memfasilitasi kegiatan perdagangan, tetapi juga sebagai tempat nongkrong , ruang publik  untuk menyuarakan aspirasi, hingga sebagai gaya hidup masyarakat. Terinspirasi dari sebuah pembicaraan, saya ingin membuat klasifikasi mall-mall yang ada di Indonesia. Ternyata tidak semua mall di Indonesia itu sama loh! Mall  di Indonesia ada bermacam-macam jenisnya bergantung pada strategi pendiri mall tersebut, yang disesuaikan pula dengan tujuan dibangunnya mall, demografi dari konsumen , dan hal-hal penting lainnya. Berikut klasifikasi-klasifikasi mall  berdasarkan hasil pemikiran pribadi (sengaja contoh tidak diberikan untuk menghinda...

Perbandingan sistem SKS di Indonesia (ITB) dan ECTS di Belanda (TU Delft), dan alasan mengapa banyak yang merasa kuliah di Belanda lebih berat daripada di Indonesia.

"Lebih berat kuliah di Indonesia atau kuliah di Belanda?" Banyak pertanyaan semacam itu dikemukakan oleh orang-orang yang penasaran bagaimana rasanya menempuh studi Magister di negeri kincir angin ini. Bagi sebagian besar orang yang sedang sama-sama menempuh kuliah di sini (secara spesifik di TU Delft) dan sebelumnya menempuh pendidikan S1 di Indonesia, beban kuliah di sini rasanya lebih banyak daripada beban kuliah di Indonesia. Saya pun kurang lebih merasakan hal tersebut. Namun, opini-opini tersebut masih berupa sekumpulan argumen yang bersifat kualitatif. Apakah ada penjelasan kuantitatif yang mendukung pendapat beban studi di Belanda lebih besar daripada beban studi di Indonesia? Saya akan mencoba membahasnya di sini. Perguruan tinggi di Indonesia mengenal sistem Satuan Kredit Semester (SKS) untuk mengukur beban studi mahasiswa dalam menempuh kuliah. Saya kurang tahu apakah sistem SKS berlaku sama atau berbeda-beda antar perguruan tinggi di Indonesia. Oleh karen...

Berapa kapasitas PIN BlackBerry Messenger (BBM)?

Hai folks! Setelah mengumpulkan niat akhirnya saya balik menulis blog ini lagi. Kali ini dengan topik yang sedang muncul di kepala dan mungkin agak "tidak penting": Berapa kapasitas PIN BBM? Orang Indonesia sekarang pasti sudah sangat familiar dengan yang namanya BBM. Messenger yang selalu terinstall di dalam perangkat mobile Blackberry (BB) tersebut sudah sangat menyentuh kehidupan orang Indonesia khusunya kawula muda dan para profesional. Setiap saat kerjaannya bertukar pesan BBM terus, atau minta PIN BBM orang supaya bisa connect dengan orang tersebut. Nah PIN ini yang akan kita bahas di post ini. FYI, PIN di BBM berlaku sebagai identitas BBM seseorang, bahkan boleh dibilang identitas BB itu sendiri karena 1 BB cuma bisa punya 1 PIN BBM saja. Pertama, kita akan melihat struktur dari PIN BBM. Misalnya kamu tanya kepada teman kamu yang punya BB, "Eh, PIN BBM-mu berapa?". Pasti (kalau dia mau kasih tahu) dia akan memberikan sebuah #kode angka dan huruf b...