Langsung ke konten utama

Pandangan orang Belanda terhadap stereotipe pemisahan dunia profesional dan personal

Saya berkesempatan menanyakan scrum master di perusahaan klien tempat saya bekerja saat ini, orang Belanda, sebut saja R, mengenai budaya profesional di Belanda, terutama mengenai stereotipe bahwa orang Belanda memisahkan betul dunia profesional dan personalnya (rekan kerja tidak dibawa ke lingkaran pertemanan pribadinya).

Apa katanya?

Hal itu tidak sepenuhnya benar, kata R. Lanjutnya, banyak yang sebenarnya senang apabila kita membagikan porsi kehidupan personal kita kepada mereka, dan dengan sharing hal-hal pribadi seperti itu, kita dapat membangun relasi yang lebih baik dengan rekan kerja kita.

Setidaknya, menurut R, cerita-cerita tentang bagaimana kabar keluarga, punya berapa anak, kabar istri/suami bagaimana, atau informasi yang lebih intim adalah sesuatu yang menarik untuk didengar oleh rekan kerja. Apalagi, katanya, cerita-cerita dari seseorang yang berasal dari luar negeri (seperti saya) akan sangat menarik untuk disimak oleh mereka, karena mereka juga penasaran bagaimana rasanya hidup di negara lain (layaknya orang Indonesia yang suka penasaran bagaimana kehidupan para bule di negara barat).

Jadi, bukan tidak mungkin kalau orang-orang dari tempat kerja bisa masuk ke dalam lingkaran hubungan pribadi seseorang di Belanda. Namun, R juga menegaskan bahwa masyarakat Belanda sangat menghargai privasi sehingga apabila seseorang memilih untuk tidak ingin menceritakan hal pribadinya atau tidak ingin memasukkan rekan kerja ke dalam hubungan pribadinya, orang lain tidak akan memaksanya.

Kesimpulan: setiap manusia di manapun pada dasarnya sama saja kan? 😄

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Klasifikasi Mall

Orang Indonesia khususnya orang Jakarta pasti sudah tidak asing dengan mall . Jenis pusat perbelanjaan ini sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Jakarta saat ini. Dari tujuan awalnya   yaitu sebagai tempat untuk melakukan transaksi/perdagangan, mall  saat ini telah berkembang sebagai tempat yang tidak hanya memfasilitasi kegiatan perdagangan, tetapi juga sebagai tempat nongkrong , ruang publik  untuk menyuarakan aspirasi, hingga sebagai gaya hidup masyarakat. Terinspirasi dari sebuah pembicaraan, saya ingin membuat klasifikasi mall-mall yang ada di Indonesia. Ternyata tidak semua mall di Indonesia itu sama loh! Mall  di Indonesia ada bermacam-macam jenisnya bergantung pada strategi pendiri mall tersebut, yang disesuaikan pula dengan tujuan dibangunnya mall, demografi dari konsumen , dan hal-hal penting lainnya. Berikut klasifikasi-klasifikasi mall  berdasarkan hasil pemikiran pribadi (sengaja contoh tidak diberikan untuk menghinda...

Perbandingan sistem SKS di Indonesia (ITB) dan ECTS di Belanda (TU Delft), dan alasan mengapa banyak yang merasa kuliah di Belanda lebih berat daripada di Indonesia.

"Lebih berat kuliah di Indonesia atau kuliah di Belanda?" Banyak pertanyaan semacam itu dikemukakan oleh orang-orang yang penasaran bagaimana rasanya menempuh studi Magister di negeri kincir angin ini. Bagi sebagian besar orang yang sedang sama-sama menempuh kuliah di sini (secara spesifik di TU Delft) dan sebelumnya menempuh pendidikan S1 di Indonesia, beban kuliah di sini rasanya lebih banyak daripada beban kuliah di Indonesia. Saya pun kurang lebih merasakan hal tersebut. Namun, opini-opini tersebut masih berupa sekumpulan argumen yang bersifat kualitatif. Apakah ada penjelasan kuantitatif yang mendukung pendapat beban studi di Belanda lebih besar daripada beban studi di Indonesia? Saya akan mencoba membahasnya di sini. Perguruan tinggi di Indonesia mengenal sistem Satuan Kredit Semester (SKS) untuk mengukur beban studi mahasiswa dalam menempuh kuliah. Saya kurang tahu apakah sistem SKS berlaku sama atau berbeda-beda antar perguruan tinggi di Indonesia. Oleh karen...

Nasib Pelajaranku Saat Ini

Aneh ya, Di saat teman-teman yang setingkat dengan saya merasakan bahwa pelajaran di jurusan mereka semakin lama semakin menjurus, saya malah merasakan pelajaran di jurusan ini semakin lama semakin abstrak dan tidak jelas mau dibawa ke mana. Tetapi memang seperti itulah yang saya rasakan di jurusan tercinta ini. Satu hal yang saya ketahui adalah semakin tinggi tingkatan kuliah, pelajaran yang saya dapat semakin keluar dari sisi teknis. Kalau mungkin di tingkat 1, 2, atau tingkat 3 awal saya masih sering mendapat pelajaran-pelajaran yang bersifat teknis (seperti pemograman, hitung-menghitung, dll), sekarang ini pelajaran semakin ke arah konseptual (pengertian lain: ngalor-ngidul tidak jelas pun boleh). Setidaknya jurusan ini memberikan penyadaran diri dalam diri saya, sebuah penyadaran yang kalau boleh dibilang cukup pahit, yaitu bahwa saya orang yang berpola pikir eksak (serba pasti) dan sulit mencerna sesuatu yang tidak eksak (seperti ilmu sosial, ekonomi, humaniora dll), mirip den...