Langsung ke konten utama

Takdir sebagai tukang ngoding?

Hidup memang penuh misteri.
Saya suka komputer. Orang tua saya suka bilang ke saya kalau saya suka utak-atik (baca: bikin rusak) komputer di rumah saat saya TK. Waktu itu komputer rumah saya masih yang menggunakan monitor CRT dan CPU yang dapat membaca disket 5 1/4 dengan sistem operasi Windows 3.1. Saya telah mahir menggunakan Lotus 123 (MS Excel belum sepopuler sekarang) dan bermain Chip's Challenge saat saya SD kelas 2. SD kelas 6 saya pernah mencoba merakit komputer sendiri. Saya juga saat itu sering membeli majalah komputer, seperti Komputeraktif dan PC Media, dan mencoba tips dan trik yang suka dibahas dalam majalah tersebut.
Namun, tidak ada dalam pikiran saya saat itu kalau saya akan berkarir dalam dunia IT. Saya saat itu merasa gaya hidup dan taste saya tidak sesuai dengan stereotipe anak IT. Yang saya bayangkan saat itu, anak IT kalau bukan: (1) penggemar game online seperti Counter Strike, Dota, Ragnarok dll., (2) penggemar hal-hal berbau Jepang, atau dalam istilah saat ini, Weeboo, (3) Anak underground yang jago hacking dan punya afiliasi dengan black market dan dark web.
Saya? Saya selalu jadi orang yang kalah duluan kalau main CS atau Dota. Saya biasanya main game simulasi kayak Sim City atau Roller Coaster Tycoon; entah kenapa saya suka permainan desain kota atau taman hiburan kayak gitu. Hal-hal berbau Jepang? Saya suka menonton anime, namun tidak sampai mengikuti perkembangan terbarunya, apalagi sampai mengoleksi berbagai jenis pernak-pernik atau action figure. Anak underground? Jauh banget dari kepribadian saya.
Saat kecil saya sempat bercita-cita menjadi arsitek. Saya suka melihat bangunan-bangunan tinggi, jalan layang, jembatan dan terowongan. Saya juga senang dulu kalau berkunjung ke stasiun kereta api atau bandara. Mungkin sebenarnya saya dulu tertariknya ke perencanaan kota, tapi saya saat kecil tidak paham apa itu perencaan kota, tahunya arsitek. Sayang, saya keburu dikasitahu oleh orang tua kalau saya kurang jago menggambar (which is true) dan profesi arsitek perlu kemampuan menggambar yang baik. Akhirnya saya mengubah cita-cita saya menjadi seorang insinyur, yang lebih menghitung ketimbang menggambar.
Saat SMA, saya meragukan cita-cita saya lagi. Seorang insinyur, kata orang tua saya, mesti kuat fisik dan mau kerja di lapangan yang panas gerah dan berdebu, sementara saya dilihat lebih sebagai anak rumahan yang cocoknya kerja di belakang meja.
Saya menyukai pelajaran kimia selama SMA. Menurut saya pelajaran ini magic; laboratoriumnya paling seru. Saya sempat mewakili sekolah dalam olimpiade kimia sampai tingkat provinsi. Saat itu saya berpikir untuk berkarir di bidang yang masih relevan dengan pelajaran kimia. Waktu itu saya membidik jurusan teknik kimia. Alasannya? Selain karena ada kata "kimia" di sana (walaupun akhirnya saya mengetahui bahwa teknik kimia lebih banyak fisikanya ketimbang kimianya), teknik kimia adalah salah satu bidang studi yang sangat populer di Indonesia, di mana banyak lulusannya bekerja di perusahaan-perusahaan ternama dalam negeri maupun multinasional. Saya yang saat itu terobsesi dengan "profesi yang dapat mendatangkan kesuksesan" merasa itu salah satu jurusan yang menarik.
Lucunya, karena "kebodohan" saya saat menentukan pilihan bidang studi di aplikasi ujian masuk perguruan tinggi, saya malah diterimanya di fakultas elektro dan informatika. Dari sinilah, takdir yang saya sebutkan di judul post ini dimulai.
Saya yang saat itu depresi menolak hal-hal yang berbau informatika dan tanpa berpikir berencana masuk ke program studi elektro di tahun kedua. Alasannya simpel, hanya karena ingin menghindari coding. Namun rencana itu tidak bertahan sampai akhir. Saya mendapatkan pelajaran Dasar Rangkaian Listrik (DRL) saat semester 2 kuliah dan pelajaran tersebut benar-benar tidak bisa masuk otak saya, seberapa keras saya belajar saat itu. Saya menjadi galau dengan pilihan saya dan akhirnya mencari kompromi atas hal-hal tersebut. Alhasil saya masuk ke prodi Sistem dan Teknologi Informasi (STI).
Saya menikmati pelajaran-pelajaran di prodi STI tersebut, karena tidak semua pelajarannya teknis. Saya juga mendapatkan matakuliah terkait organisasi dan manajemen. Banyak tugas kuliah yang mana saya dan tim menemui pelaku bisnis dan menganalisa apa yang mereka perlukan untuk maju secara digital, atau sekedar menganalisa seberapa mature sistem informasi yang mereka miliki. Memang, pelajarannya lebih banyak teori ketimbang technical skills, namun saya menikmatinya.
Karena latar belakang studi saya tersebut, saya berpikir untuk berkarir dalam bidang IT (ya, saya akhirnya dapat menoleransi hal ini), namun tidak di bagian teknisnya (e.g. sebagai programmer atau database administrator). Namun entah kenapa hal ini tidak semulus yang dibayangkan.
Tidak mudah untuk langsung mendapatkan kerjaan setelah lulus. Saya sempat "liburan" selama 5 bulan melamar kerja sana sini. Tawaran pertama yang saya dapatkan, menariknya, adalah sebagai programmer di sebuah startup jasa software development. Tawaran tersebut tidak saya ambil, karena saya saat itu benar-benar tidak ingin masuk ke posisi teknis. Setelah 4 bulan tanpa kejelasan, saya akhirnya mengambil tawaran magang dari teman saya di sebuah perusahaan konsultasi multinasional, sebagai VBA developer. Berbekal pengetahuan Visual Basic yang saya peroleh saat SMA dan mbah Google, saya membuat macro kompleks untuk mengotomasi input HR data dari suatu form ke satu master data file, dan membuat laporan mengenai data tersebut dalam format Word document secara otomatis.
Setelahnya, saya mendapatkan pekerjaan full-time sebagai konsultan di sebuah perusahaan konsultasi multinasional (bukan tempat magang), dan pekerjaan tersebut cukup sesuai dengan aspirasi saya (berkarir dalam bidang IT namun bukan bagian teknis). Saya mendapatkan proyek yang cukup bervariasi dan berbagai pengalaman pertama selama bekerja di sana, seperti pertama kali masuk ke data center dan, yang paling berkesan, pertama kali ke Amerika Serikat.
Saya bekerja di sana selama 2 tahun karena setelahnya saya mendapat beasiswa untuk lanjut kuliah di Belanda. Saya memang dari dulu punya keinginan untuk bisa studi, tinggal dan bekerja di Eropa. Oleh karena itu, kesempatan ini tidak akan saya sia-siakan. Saya akhirnya berangkat ke Belanda pertengahan tahun 2016.
Bidang studi saya di Belanda cukup relevan dengan latar belakang pekerjaan saya, yang IT namun tidak teknis sekali. Banyak tugas-tugas kuliah saya yang lebih berfokus pada analisis masalah dan mengelola ekspektasi pemegang kepentingan (stakeholder), atau formulasi ide, ketimbang meng-coding solusi tersebut.
Sayangnya saya kurang bisa menjual ilmu-ilmu yang saya dapat saat kuliah master tersebut saat mencari kerja di sini. Perusahaan sini malah lebih tertarik dengan pengalaman coding saya, yang sebenarnya saya tidak begitu tampilkan karena saya tidak terpikir untuk masuk ke bagian teknis. Saya akhirnya ditempatkan sebagai system engineer, di mana tugas saya adalah mengimplementasi sistem untuk mengelola identitas dan akses, dan melakukan konfigurasi atau pengembangan fitur untuk sistem tersebut di klien saya. Saya kembali memegang kode setelah sekian lama, malah kali ini saya jauh lebih teknis daripada pengalaman kerja saya sebelumnya.
Apakah memang takdir saya sebagai tukang ngoding?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perbandingan sistem SKS di Indonesia (ITB) dan ECTS di Belanda (TU Delft), dan alasan mengapa banyak yang merasa kuliah di Belanda lebih berat daripada di Indonesia.

"Lebih berat kuliah di Indonesia atau kuliah di Belanda?" Banyak pertanyaan semacam itu dikemukakan oleh orang-orang yang penasaran bagaimana rasanya menempuh studi Magister di negeri kincir angin ini. Bagi sebagian besar orang yang sedang sama-sama menempuh kuliah di sini (secara spesifik di TU Delft) dan sebelumnya menempuh pendidikan S1 di Indonesia, beban kuliah di sini rasanya lebih banyak daripada beban kuliah di Indonesia. Saya pun kurang lebih merasakan hal tersebut. Namun, opini-opini tersebut masih berupa sekumpulan argumen yang bersifat kualitatif. Apakah ada penjelasan kuantitatif yang mendukung pendapat beban studi di Belanda lebih besar daripada beban studi di Indonesia? Saya akan mencoba membahasnya di sini. Perguruan tinggi di Indonesia mengenal sistem Satuan Kredit Semester (SKS) untuk mengukur beban studi mahasiswa dalam menempuh kuliah. Saya kurang tahu apakah sistem SKS berlaku sama atau berbeda-beda antar perguruan tinggi di Indonesia. Oleh karen

Klasifikasi Mall

Orang Indonesia khususnya orang Jakarta pasti sudah tidak asing dengan mall . Jenis pusat perbelanjaan ini sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Jakarta saat ini. Dari tujuan awalnya   yaitu sebagai tempat untuk melakukan transaksi/perdagangan, mall  saat ini telah berkembang sebagai tempat yang tidak hanya memfasilitasi kegiatan perdagangan, tetapi juga sebagai tempat nongkrong , ruang publik  untuk menyuarakan aspirasi, hingga sebagai gaya hidup masyarakat. Terinspirasi dari sebuah pembicaraan, saya ingin membuat klasifikasi mall-mall yang ada di Indonesia. Ternyata tidak semua mall di Indonesia itu sama loh! Mall  di Indonesia ada bermacam-macam jenisnya bergantung pada strategi pendiri mall tersebut, yang disesuaikan pula dengan tujuan dibangunnya mall, demografi dari konsumen , dan hal-hal penting lainnya. Berikut klasifikasi-klasifikasi mall  berdasarkan hasil pemikiran pribadi (sengaja contoh tidak diberikan untuk menghindari hal-hal yang tidak me

Berapa kapasitas PIN BlackBerry Messenger (BBM)?

Hai folks! Setelah mengumpulkan niat akhirnya saya balik menulis blog ini lagi. Kali ini dengan topik yang sedang muncul di kepala dan mungkin agak "tidak penting": Berapa kapasitas PIN BBM? Orang Indonesia sekarang pasti sudah sangat familiar dengan yang namanya BBM. Messenger yang selalu terinstall di dalam perangkat mobile Blackberry (BB) tersebut sudah sangat menyentuh kehidupan orang Indonesia khusunya kawula muda dan para profesional. Setiap saat kerjaannya bertukar pesan BBM terus, atau minta PIN BBM orang supaya bisa connect dengan orang tersebut. Nah PIN ini yang akan kita bahas di post ini. FYI, PIN di BBM berlaku sebagai identitas BBM seseorang, bahkan boleh dibilang identitas BB itu sendiri karena 1 BB cuma bisa punya 1 PIN BBM saja. Pertama, kita akan melihat struktur dari PIN BBM. Misalnya kamu tanya kepada teman kamu yang punya BB, "Eh, PIN BBM-mu berapa?". Pasti (kalau dia mau kasih tahu) dia akan memberikan sebuah #kode angka dan huruf b